Tinjauan Hukum tentang Judi
Bicara tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.
Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat (1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi, diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.
Memang ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi ( hazardspel ) mengandung unsur ; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d) pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.
Dan secara hukum orang dapat dihukum dalam perjudian, ialah : 1) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain judi. Dan mengenai tempat tidak perlu ditempat umum, walaupun tersembunyi, tertutup tetap dapat dihukum ; 2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, disini tidak perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal ditempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum ; 3) Orang yang mata pencahariannya dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide, pasal 303 bis KUHP).
Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, tepatnya dalam pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”. di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.
Agaknya pengaturan tentang “judi” terdapat pengaturan yang saling bertentangan, disatu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.
Atas dasar ini Kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut. Guna menghindari adanya tindakan anarkisme dari kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya praktik perjuadian yang ada, maka sudah seharusnya Pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian” yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di kota-kota dan di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar negara kita sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana masyarakatnya yang religius tetap terjaga imagenya.
Pencemaran Nama Baik Lewat Media Sosial Internet
Akhir-akhir ini marak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan Tehnologi yaitu Internet dan Media Sosial, termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet. Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari sebenarnya terjadi kasus serupa, yang hal ini disebabakan semakin bebasnya masyarakat dalam mengekpresikan pendapatnya melalui internet dalam hal ini media sosial. Salah satu kasus yang sangat sering terjadi adalah kasus penghinaan atau pencemaran nama baik lewat melalui media sosial internet.
Sebelum adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal-pasal KUHP sebagai berikut :
1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.
Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagia nda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.
Pembagian Waris Menurut Islam
Pada dasarnya, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari seorang yang sudah meninggal kepaha ahli warisnya yang masih hidup, baik kepemilikan berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, maupun hak-hak yang sesuai dengan shari’at. Pembagian waris dalam hukum Islam dibagi berdasarkan masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan besarannya. Selain itu, warisan dalam hukum waris Islam dapat dibagi berdasarkan wasiat.
Berdasarkan Pasal 194 ayat (1) KHI yang berlaku berdasarkan Inpres 1/1991, orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Kemudian, pemilikan terhadap harta benda yang diwasiatkan baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Definisi wasiat juga terdapat dalam Penjelasan Pasal 49 huruf c UU 3/2006 sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Tetapi, wasiat hanya boleh diberikan dalam jumlah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Maka, dapat disimpulkan pembagian hak waris menurut Islam dilakukan berdasarkan bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan. Jika terdapat wasiat dari pewaris, maka hanya boleh paling banyak sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. Selain itu, berkaitan dengan pertanyaan Anda, D yang merawat dan membiayai segala kebutuhan OT termasuk membayar utang OT tidak menjadi faktor dalam pembagian waris menurut KHI.
Ketentuan Pembagian Harta Warisan dalam Ilmu Fiqih
Dalam fiqih hukum waris Islam, terdapat tiga rukun waris yang wajib dipenuhi sebelum pembagian harta warisan dilakukan. Tiga rukun tersebut adalah:
Yaitu orang yang mewariskan hartanya. Al-muwarrith bisa berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri, dapat pula dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Al-wârits adalah orang yang mewarisi. Artinya, orang yang memiliki tali persaudaraan dengan seseorang yang telah meninggal dunia dan juga beberapa alasan lainnya yang menyatakan dia berhak mewarisi harta tersebut. Dengan demikian, seseorang dinyatakan sebagai ahli waris, jika masih hidup, tidak ada penghalang bagi dirinya sebagai ahli waris, dan tidak tertutup oleh ahli waris utama.
Al-maurûts dapat berupa harta maupun hak-hak pewaris yang memungkinkan untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Harta tersebut dapat berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimiliki penuh oleh pewaris maupun oleh wakilnya atau kuasanya.
Sebagai informasi, mengenai rukun yang ketiga, harta warisan baru bisa dilakukan pembagiannya kepada ahli waris setelah melaksanakan empat jenis pembayaran yaitu:
Ahli Waris dalam Hukum Waris Islam
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[8]
Pembagian ahli waris menurut KHI dibagi berdasarkan kelompok di bawah ini:
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.[10]
Selain itu, penting untuk diketahui bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
Lantas, bagaimana besaran pembagian warisan perempuan dan laki-laki dalam Islam? Berikut adalah ulasannya.
Besaran Bagian Ahli Waris
Besaran bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:
Kelompok Pembagian Ahli Waris
Menurut Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 35-38), pembagian kelompok ahli waris terbagi menjadi tiga:
Yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti (sudah ditentukan bagiannya). Misalnya, ayah sudah pasti menerima sebesar 1/3 bagian jika pewaris memiliki anak, atau 1/6 bagian jika pewaris memiliki anak. Artinya, bagian para ahli waris ashabul furudh/dzulfaraidh inilah yang dikeluarkan terlebih dahulu dalam perhitungan pembagian warisan. Setelah bagian para ahli waris dzulfaraidh ini dikeluarkan, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris yang menerima bagian sisa (‘ashabah) seperti anak pewaris dalam hal anak pewaris terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian yang tidak tertentu. Mereka memperoleh warisan sisa setelah bagian para ahli waris dzulfaraidh tersebut dikeluarkan. Jika dilihat dari segi hubungannya dengan pewaris, ahli waris dzulqarabat adalah orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pewaris melalui garis laki-laki maupun perempuan. Hubungan garis kekeluargaan tersebut juga dikenal dengan istilah garis keturunan bilateral.
Dzul-arham merupakan kerabat jauh yang baru tampil sebagai ahli waris jika ahli waris dzulfaraidh dan ahli waris dzulqarabat tidak ada.
Menjawab pertanyaan Anda, pembagian warisan di antara A, B, C dan D tidak dapat dibagi sama rata karena harus tunduk pada pembagian sesuai dengan besaran yang ditetapkan dalam KHI. Kecuali, anak berjenis kelamin sama sehingga bagiannya sama.
Contoh Tabel Perhitungan Pembagian Harta Warisan
Untuk mempermudah pemahaman Anda, berikut kami ilustrasikan perhitungan waris yang disarikan dari buku yang sama karya Irma Devita Purnamasari (hal. 37-38).
Ahli waris dari Amir adalah ayah dan ibu Amir, serta istri dan 3 orang anak Amir, yaitu Ahmad, Anita dan Annissa sehingga pembagiannya sebagai berikut:
Bagian dari harta Amir dan istrinya dikeluarkan terlebih dahulu, yaitu sebanyak setengahnya. Sedangkan, setengah bagiannya lagi (dianggap = 1) dibagikan:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Indonesia boleh saja disebut sebagai suatu negara “demokrasi”, karena ukuran yang diambil adalah, adanya “kebebasan pers”, pemilihan jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Kepala Desa yang dipilih lansung oleh rakyat. Partisipasi politik rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa, negara dan pemerintahan hanya sebatas itu. Celakanya lagi kebanyakan rakyat beranggapan dengan system demokrasi yang dijalankan tentu akan melahirkan kehidupan rakyat yang lebih baik, yaitu kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Namun pada kenyataannya negara Indonesia yang dikatakan telah menjalankan demokrasi, faktanya hasilnya melahirkan banyak kekacauan dan masalah yang tidak berkesudahan, jumlah penduduk miskin masih di atas 100 juta orang [45,2% dari jumlah penduduk dengan asumsi mempunyai penghasilan rata-rata 2$(duaUSD/hari)], kerusuhan sosial dan bencana kemanusiaan kerap terjadi, penegakan hukum yang buruk, anarkisme serta banyak terjadi “tirani” dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang bersumber dengan berkembangnya politik massa yang dijalankan selama ini. Sehingga tidak mengherankan jika Pemilu Indonesia hanya bersifat ritual politis atau ceremonial democratie, namun proyek itu harus dijalankan karena undang-undang mengharuskannya. Dari fakta ini sungguh dangkal pemahaman bangsa ini dalam melaksanakan sebuah negara yang demokratis. Sehingga tidak heran demokrasi yang dijalankan Indonesia selama ini telah menghasilkan fakta kehidupan rakyat yang lebih buruk dari fakta semasa rezim pemerintahan Soeharto, dimana pada waktu itu rakyat masih merasa aman dan mudah dalam mencari kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Rakyat harus tahu bahwa batasan pengertian secara Konsepsional, “demokrasi” adalah suatu proses penyelenggaraan system kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedang batasan pengertian secara Operasional, “demokrasi” dapat diukur dari: 1).Bagaimana sikap dan prilaku rakyat dalam menjalankan Pemilu dengan baik.; 2). Bagaimana rakyat atau para wakil rakyat bermusyawarah dengan baik tanpa harus gontok-gontokan dan adu jotos; 3). Bagaimana para wakil rakyat di DPR dan atau di dalam semua rapat-rapat yang diselenggarakan dapat mengatasi perbedaannya dengan baik serta dapat menggunakan hak-hak DPR dalam proses pemerintahan dengan baik (seperti, hak budget, hak inisiatif, hak interplasi, dll) ; dan 4). Bagaimana prilaku rakyat dalam menyampaikan pendapat kepada institusi mana saja dapat dilakukan dengan baik, tertib dan damai tanpa anarkisme. Sehingga dari beberapa indikator tersebut tidak lagi terjadi anarkisme yang bersumber dari akibat dijalankannya demokrasi itu. Keseluruhan itu adalah merupakan variabel untuk mengukur apakah kita benar-benar sebuah negara yang menjalankan system demokrasi.
Memang pada kenyataannya tanpa kemakmuran rakyat lebih dulu ada, proses demokrasi yang dijalankan tetap akan melahirkan kekacauan dan instabilitas di hampir semua sektor yang ada. Apalagi rakyat tidak memiliki pemahaman dasar dalam hidup berbangsa dan bernegara, dimana untuk hidup dalam negara domokrasi rakyat harus memahami dan menyadari minimal terhadap 4 (empat) hal yaitu, 1). Kita semua adalah mahluk ciptaan Tuhan, sehingga harus terjalin hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, sehingga apapun yang kita lakukan harus bertanggungjawab kepada Nya. ; 2). Kita semua adalah mahluk sosial, artinya kontribusi yang kita berikan dalam Pemilu tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dan harus mengutamakan kepentingan nasib orang banyak.; 3). Kita semua harus sadar bahwa kita adalah warga dari suatu bangsa dan negara, yang oleh karenanya dalam berdemokrasi harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.Indonesia ; dan 4). Rakyat harus sadar bahwa kita adalah warga dari komunitas dunia, yang memiliki tanggungjawab sesama umat sebagai penghuni dunia/bumi ini, apalagi dalam menyelamatkan iklim global yang mengancam keselamatan dunia.
Tanpa memiliki pemahaman ini dapat dipastikan kehidupan rakyat, bangsa Indonesia selamanya akan menuai bencana yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Dalam berdemokrasi sudah saatnya rakyat banyak harus menentukan pilihan dan partisipasi politiknya dengan menggunakan akal sehatnya. Rakyat jangan mau lagi hak suaranya dibeli. Rakyat harus mendapatkan informasi yang lengkap terhadap para calon yang akan dipilihnya.
Oleh karena itu dalam menjalankan pesta demokrasi Panitia Pemilu (KPU atau KPUD) harus dapat mensosialisasikan kelebihan dan kekurangan para calon wakil rakyat atau pemimpin yang akan dipilihnya. KPU atau KPUD bersama seluruh LSM yang ada harus dapat mendidik rakyat bagaimana memahami hidup berbangsa dan bernegara dalam system demokrasi. Sehingga rakyat tidak mudah termakan oleh propakanda partai-partai politik yang menjual janji-janji, sementara partai tersebut telah terbukti tidak dapat berbuat banyak untuk mensejahterakan rakyat, apalagi menciptakan rasa aman. Rakyat dituntut harus lebih banyak mendengar dan melihat fakta apa saja yang telah terjadi di negara ini yang membuat bangsa Indonesia ini terpuruk di segala bidang, sehingga rakyat menjadi sadar bagaimana harus bersikap dalam menggunakan haknya. Rakyat harus menjadi subyek demokrasi yang dijalankan, bukan menjadi obyek demokrasi, seperti yang selama ini terjadi. Semoga.
Penulis :Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERSPenulis dan Pemerhati Masalah Hukumdi Negara Indonesia
Pentingnya Perlindungan Hukum
Mengapa perlindungan hukum penting? Tujuannya pentingnya perlindungan dan penegakan hukum tidak lain untuk memastikan subjek hukum memperoleh setiap haknya. Kemudian, apabila ada pelanggaran akan hak-hak tersebut, adanya perlindungan hukum dapat memberikan perlindungan penuh pada subjek hukum yang menjadi korban.
Upaya perlindungan hukum telah dilakukan dengan perumusan sejumlah undang-undang dan kebijakan. Akan tetapi, sejauh ini perlindungan yang diberikan belum optimal. Hal ini berkaitan dengan upaya penegakan hukumnya.
Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Berikut pengertian dan cara memperolehnya.
Mengapa perlindungan hukum tidak akan terwujud apabila penegakan hukum tidak dilaksanakan? Sebab, keduanya berkaitan dan tidak dapat dilepaskan. Perlindungan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang adalah instrumen dan penegak hukum adalah langkah untuk merealisasikan instrumen tersebut.
Simanjuntak merumuskan 4 unsur perlindungan hukum. Jika unsur berikut terpenuhi, barulah upaya perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum.
1. Adanya perlindungan dari pemerintah terhadap warganya.
2. Jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warga negaranya.
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
Penggolongan Narkotika di Indonesia
Dalam UU Narkotika, narkotika digolongkan menjadi tiga golongan sebagai berikut. Melihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika, berikut ini 3 golongan narkotika:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; dan
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Penggolongan narkotika ke dalam tiga golongan sebagaimana diterangkan dicantumkan dalam Lampiran I UU Narkotika untuk pertama kalinya. Kemudian, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yaitu Menteri Kesehatan.
Yang dimaksud dengan “perubahan penggolongan narkotika” adalah penyesuaian penggolongan narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional.
Untuk itu, perubahan yang berlaku saat ini mengenai penggolongan narkotika dapat dilihat dalam Permenkes 9/2022. Dibandingkan penggolongan sebelumnya, ada sepuluh penambahan jenis narkotika dalam golongan 1. Dalam Permenkes 4/2021 diterangkan bahwa ada 191 narkotika yang masuk dalam kategori golongan I. Kemudian, dalam penggolongan terbaru ini jumlahnya menjadi 201 narkotika.
Penambahan sepuluh narkotika golongan I tersebut, adalah sebagai berikut.
1. 4F-MDMB-BUTICA, nama lain, 4F-MDMB-BICA, 4FBC, 4FBCA, 4F-MDMB-2201.
2. 5F-EMB-PICA, nama lain EMB-2201, 5F-EMB-2201.
3. ADB-BUTINACA, nama lain ADB-BINACA, ADBB.
4. 4F-ABUTINACA, nama lain 4F-ABINACA, N-(4-fluorobutil) APINACA.
5. 5F-EDMB-PICA, nama lain 5F-EDMB-2201.
7. 1P-LSD, nama lain 1-propionil LSD, 1P-LAD.
8. 3-METOKSIFENSIKLIDINA nama lain 3-MeO-PCP, 3-METOKSI PCP.
10. CUMIL PEGAKLONA, nama lain SGT-151.
Pengertian Perlindungan Hukum dan Cara Memperolehnya
Pengertian Perlindungan Hukum dan Cara Memperolehnya
Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Berikut pengertian dan cara memperolehnya. Semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum. Lalu, apa yang dimaknai sebagai perlindungan hukum? Lalu, bagaimana macam-macam penerapannya di Indonesia? Berikut ulasan selengkapnya.
Penggolongan Narkotika di Indonesia
Pengertian Perlindungan Hukum
Secara terminologi, perlindungan hukum dapat diartikan dari gabungan dua definisi, yakni “perlindungan” dan “hukum”. KBBI mengartikan perlindungan sebagai hal atau perbuatan yang melindungi. Lalu, hukum dapat diartikan sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Merujuk definisi tersebut, perlindungan hukum dapat diartikan dengan upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Singkatnya, perlindungan hukum adalah fungsi dari hukum itu sendiri; memberikan perlindungan.
Beranjak dari definisi sederhana tersebut, Kamus Hukum mengartikan perlindungan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Peraturan ini dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut akan menyebabkan pengambilan tindakan.
Cara Mendapatkan Perlindungan Hukum
Siapa yang berhak mendapatkan perlindungan hukum? Semua orang sebagaimana dinyatakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak diakui serta mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang sama di mata hukum.
Untuk mendapatkan perlindungan hukum, seseorang dapat melaporkan segala bentuk tindak pidana atau perbuatan yang merugikan kepada polisi. Aparat kepolisian berwenang dan bertugas untuk melindungi warga negara.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya
Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Kegiatan pinjam meminjam, atau utang piutang merupakan hal lumrah dalam sebuah kegiatan ekonomi. Utang piutang ini biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor, bunga, dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan kewajiban (wanprestasi).
Dalam dunia bisnis, kegagalan debitur dalam membayar utang sering ditemukan ketika usaha tidak berjalan dengan baik dan mengalami kesulitan keuangan. Hal ini biasa terjadi dalam perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur (bank). Namun perjanjian utang piutang juga bisa dilakukan oleh orang pribadi dengan orang pribadi lainnya.
Bagaimana jika salah satu pihak mangkir dalam perjanjian utang piutang atau tidak mampu membayar utang sebagaimana diatur kedua belah pihak dalam perjanjian? Apakah pihak yang mangkir bisa dilaporkan ke pihak kepolisian atau dipidana?
Dikutip dalam Klinik Hukumonline dengan judul “Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana?”, pada dasarnya tak ada ketentuan yang melarang seseorang untuk melaporkan orang yang tidak membayar utang ke pihak kepolisian. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang, namun belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Akan tetapi dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara. “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” demikian bunyi Pasal 19 ayat (2).
Jika merujuk Pasal 19 ayat (2), walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. (Baca Juga: Tips Menghindari Pejabat Notaris dan PPAT Bodong)
Maka di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Untuk diketahui hukum perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam KUHPer terjemahan Prof. Subekti, perjanjian didefenisikan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.
Namun demikian dalam praktiknya, beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut.
Akan tetapi, ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989 yang berbunyi: “bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”
Advokat Alvin Sulaiman menjelaskan perihal kemungkinan sengketa utang piutang bisa berakhir di ranah pidana. Menurutnya, perkara perdata berupa wanpretasi dapat dilaporkan pidana dengan memenuhi beberapa unsur, yakni apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
“Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990,” katanya dalam artikel Klinik Hukumonline mengenai “Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?”